Konsultasi Bisnis/Usaha Gratis Dengan Para Konsultan


Selamat Datang di Webblog Konsultan Ide & Pengembangan Usaha. Melalui webblog ini anda:

- dapat melakukan KONSULTASI BISNIS GRATIS secara online dengan para konsultan kami
- mendapatkan referensi/tips/trik wirausaha
- menghubungi kami untuk bekerjasama dengan anda
- serta anda dapat melakukan promosi usaha anda sebagai bentuk peluang usaha


DALAM tulisan kolomnya, "Memadu Otak, Otot, Alat dan Tangan", kritikus budaya kita, Sudjoko, mempertentangkan adanya dua sistem pendidikan di Indonesia. Pendidikan pertama, sekolah umum, warisan zaman kolonial, bahkan sejak zaman Yunani dulu, ternyata lebih diutamakan ketimbang pendidikan kejuruan yang lebih tepat-asas dengan kehausan bangsa kita akan kesempatan kerja (KOMPAS, 25 Februari 1986).

Lebih jauh Sudjoko mengemukakan hasil pengamatannya selaku "sosiolog awam", yang mendapati dua jenjang sosial di masyarakat: lapisan pintar dan lapisan pandir; para pekerja otak dan pekerja otot. Kelompok pertama, yang terbanyak dihasilkan selama ini, punya banyak waktu luang sehingga bisa terus menambah kepintarannya. Bahkan secara tak langsung kelompok ini "disubsidi" oleh golongan kedua, yang sibuk membanting tulang demi nafkah yang pagi-dikais-petang-dimakan. Syahdan, orang lalu mencoba menjelaskan hubungan matematika modern maupun bahasa dengan kepintaran, tapi bukan kepintaran dengan keterampilan; jangankan antara keterampilan dengan kemampuan mencari nafkah.


Mungkin karena itulah di akhir tulisannya Sudjoko mengingatkan kita pada model pendidikan dua tokoh pendidik Indonesia tempo doeloe: INS-nya Muhammad Sjafei dan Taman Siswa-nya Ki Hajar Dewantara. Di situ pendidikan umum dan kejuruan bersatu-padu, sehingga lepas sekolah para murid dipersiapkan untuk sanggup menerjuni dunia kerja tanpa canggung. Namun sayangnya tokoh-tokoh tersebut hanya sempat menjadi Menteri PPK (Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) RI selama beberapa bulan; agak lucu memang. Alangkah jauh bedanya seandainya Muhammad Sjafei diberi waktu lima tahun sebagai Menteri. Tentu metode sekolah-kerja model INS bakal membudaya di negeri kita, pendidikan menjadi praktis dan para anak didik mampu mandiri. Tinggal lagi kita sebagai generasi penerus yang menyempurnakan inovasi pendidikan termaksud. Oh, betapa indahnya mimpi itu....


Tulisan ini ingin menanggapi pendapat Sudjoko tentang dua sistem pendidikan di atas sambil mengajukan sebuah model pendidikan lain. Alternatif yang saya maksud tidak tergolong pendidikan umum, juga bukan kejuruan, berhubung ia belum punya penggolongan maupun sekolah formalnya.


"Mencari Nafkah" Sebagai Keterampilan

Menyadari urgensi dan relevansi suatu model pendidikan berorientasi kerja di negeri kita, terutama di tengah semakin gawatnya masalah pengangguran dewasa ini, saya ingin menggarisbawahi apa yang disebut Sudjoko kemampuan mencari nafkah. Menurut pikiran saya, di situlah letak inti soalnya.


Kalau memang kemampuan mencari nafkah yang paling mendesak kita perlukan, mengapa tidak sejak awal kita rancang ilmu khusus untuk itu? Sehingga kita tidak perlu repot-repot menggabungkan sekolah umum dengan pendidikan kejuruan demi mengharapkan "hasil samping" berupa kemampuan termaksud. Akan tetapi mungkinkah Ilmu Mencari Nafkah tersebut diciptakan?


Mungkin, dapat, dan bahkan sudah banyak dikembangkan di negeri-negeri maju. Ilmu termaksud bukan sekadar mengajarkan kemampuan, tetapi keterampilan mencari nafkah itu sendiri. Beberapa kalangan menamakannya kewiraswastaan. Kalau ada yang keberatan, silahkan memberi sebutan lain; apatah arti sebuah nama?


Ilmu Mencari Nafkah (saya singkat IMN, bukan INS) lebih menyangkut sikap mental ketimbang keterampilan tangan yang dijagoi Sudjoko. Baik yang memakai alat maupun tidak, seperti: menenun, melepa tembok, menempa logam, menggergaji, mengutak-atik mesin dan semacamnya. Dia juga tidak sama dengan kerajinan pertukangan (craftmanship) yang biasa dilestarikan turun-temurun itu; pun bukan keahlian di bidang seni yang cenderung berkiblat pada selera subyektif sang seniman semata.


Kalau orientasi pendidikan kejuruan, apalagi sekolah umum, lebih ke arah mencari kerja setelah tamat, maka pada IMN para anak-didik dilatih menciptakan kerja atau kesibukan produktifnya sendiri. Seperti bisa diduga, untuk mampu menswakarsai kesibukan tertentu, jelas diperlukan lebih dari keterampilan "siap-pakai" yang bagaimana pun bentuknya; tapi terutama motivasi atau tekad untuk bertanggung-jawab atas nasib sendiri - dengan atau tanpa majikan, di dalam maupun di luar hubungan perburuhan. Artinya, boleh-boleh saja kita bekerja untuk pihak lain, pemerintah maupun swasta, selama-dan-hanya-selama kemampuan serta kinerja kerja kita dihargai selayaknya - dan peningkatan karier jabatan kita dijamin oleh sistem organisasi yang adil. Apabila, karena satu dan lain sebab prinsip keadilan tersebut terabaikan, kita selalu bebas untuk pindah ke pekerjaan lain yang lebih layak. Tentu saja untuk memungkinkan hal itu keunggulan bersaing tenaga kerja kita di pasaran harus selalu ditingkatkan. Nah, coba anda kira-kira, berapa banyak tipe "manusia merdeka" termaksud di antara puluhan juta angkatan kerja Indonesia dewasa ini. Suatu kenyataan yang sama sekali tidak lucu, bukan?


Dengan kata lain, IMN lebih merupakan serangkaian keterampilan mental di mana tergabung di dalamnya motivasi; serta tak kalah penting: kreativitas. Ia boleh (tak selalu harus) dilengkapi keterampilan otot tertentu. Karena yang direkayasanya bukan peralatan atau barang, melainkan manusia beserta segenap sumberdaya lingkungannya. Karena itulah pelengkap khusus yang harus dikuasainya adalah keluwesan bergaul dengan sesama, kejujuran dalam menjaga kepercayaan orang, sejumlah pengetahuan umum (yang penting-penting), ditambah pengetahuan khusus sesuai bidang yang diterjuni (sejauh yang diperlukan).


Di lain pihak IMN tidak pernah mendahulukan hal-hal yang kita sukai atau mampu laksanakan semata, betapa pun "penting" atau "indahnya" hal itu, tapi terutama apa yang diperlukan masyarakat. Dan mereka yang belajar IMN harus tetap mewaspadai kebutuhan pasar yang berubah dari waktu ke waktu, serta manakala perlu siap menyesuaikan diri terhadapnya. Dengan kata lain, apabila kebutuhan pasar terhadap barang atau jasa yang kita pasok mulai berkurang, atau tingkat persaingan sudah terlampau tajam, IMN telah melatih kita untuk beralih menciptakan pasar baru.


Para tamatan IMN dikatakan tidak sepenuhnya harus menggantungkan nasib kepada majikan, karena bekerja untuk pihak lain dengan mengandalkan gaji tetap, apalagi yang sifat pekerjaannya rutin, kurang menyiapkan kita untuk mampu memanfaatkan berbagai peluang yang sewaktu-waktu muncul. Bahkan kalau kebiasaan kerja rutin terlanjur menjadi gaya hidup, ia cenderung "mendidik" kita menjadi orang yang takut menghadapi risiko, khawatir terhadap perubahan serta nyaris lupa bahwa rasa "aman" yang kita nikmati selaku karyawan itu semakin rawan akibat reresi ekonomi dunia yang kini sedang melanda negeri kita entah-sampai-kapan.


Alhasil dengan atau tanpa pesangon, PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) bisa sewaktu-waktu mencampakkan periuk nasi kita. Dan sekali musibah itu terjadi, amatlah sukar bagi kebanyakan orang untuk mampu mulai lagi dari nol. Hal yang sama berlaku pula bagi mereka yang sebenarnya masih "betah" bekerja, tapi keburu dipensiun, karena perusahannya bangkrut atau dilikuidasi, tanpa persiapan purna karya yang terarah. Sedangkan di pihak lain, para tamatan IMN sejak semula selalu siap berdagang kecil-kecilan, ngobyek di sana sini, memulai

industri rumah tangga maupun merintis kegiatan produktif di sektor informal lain (yang merupakan porsi penyerapan lapangan kerja terbesar di manapun!).

Kemudian, mengapa IMN harus dihubungkan dengan kreativitas? Sebab untuk mampu menciptakan kesibukan baru jelas kita harus memakai otak ketimbang otot; bekerja lebih cerdas, bukan lebih keras. Bagaimana mungkin tanpa kreativitas kita mampu melihat peluang-peluang untuk memajukan kehidupan di sekitar kita? Dan bicara soal kreativitas, kembali kita dihadapkan kepada "kelucuan" dari sistem pendidikan formal yang kita anut, baik yang umum (sejak SD sampai Universitas) maupun kejuruan. Sampai sekarang keduanya nyaris tak pernah mengajarkan teknik-teknik berpikir kreatif - hal yang mutlak perlu bagi pendidikan IMN.


Menimbang semua itulah, mengapa IMN saya sebut alternatif yang berbeda dibanding dua model pendidikan yang dipertentangkan Sudjoko di muka. Ia bisa

diselenggarakan secara khusus, bahkan bisa pula dijadikan pelengkap dari sistem pendidikan yang berlaku di manapun. Ya, mengapa tidak? Dan para tamatannya kelak boleh saja merangkap tukang siap-pakai atau sarjana di berbagai bidang ilmu, tapi yang terpenting: mereka sudah terampil mencari nafkah.

Bukan "Mimpi"


Saya belum selesai memikirkan serba-serbi "ilmu baru" yang dicanangkan di atas. Apa kira-kira isi kurikulum intinya (agar jangan terlalu sering diubah-ubah), bagaimana teknik latihannya, macam apa saja sih praktik lapangannya? Lalu perlukah semacam sistem ujian, tolok-ukur keberhasilan, berikut segala "gelar kehormatan" bagi mereka yang telah “lulus”? Jelas, yang tersebut terakhir tidak diperlukan, karena gelar-gelar akademis tak pernah bisa menjamin perolehan nafkah di manapun!


Beberapa pertanyaan lain yang belum terjawab adalah, haruskah dibangun gedung sekolah khusus untuk itu dan mutlakah perlunya kehadiran guru yang terus-menerus? Ataukah pendidikan IMN bisa diselenggarakan lewat sistem belajar jarak-jauh, semacam Universitas Terbuka, dengan memanfaatkan teknologi multi-media, disusul pemberian kesempatan khusus bagi murid-murid yang dinilai berbakat unggul serta terbukti berprestasi - umpamanya?


Bukan! Jangan hendaknya pendidikan IMN dianggap "mimpi indah" belaka; tapi seyogyanya dijadikan kenyataan bagi masyarakat yang sedang membangun seperti bangsa Indonesia dewasa ini. Mengapa? Karena justru kiat termaksudlah yang telah melatardepani keberhasilan negara-negara maju sejak dulu. Ya, asalkan sanggup membayar harganya, boleh saja kita mengharapkan alih teknologi canggih, semisal industri pesawat terbang. Tapi jangan berharap ada bangsa maju yang rela mengalihkan ilmu semacam IMN kepada negara berkembang mana pun. Sejak dulu teknologi mental yang bakal "memerdekakan" kita secara ekonomi ini tak pernah menjadi bagian dari paket-paket teknologi yang dialihkan, karena ia lebih merupakan "seni hidup" (the art of living) yang wajib kita rebut serta kembangkan sendiri.


Tulisan ini baru penjelajahan awal, namun sekedar sebagai "penemuan masalah", mudah-mudahan apa yang terungkap mampu mengundang perhatian dan umpan-balik Pak Sudjoko maupun para pemerhati dunia pendidikan di Indonesia.

@
(KOMPAS, Jum'at 4 Juli 1986)
* Salah satu artikel dalam buku Bunga Rampai "TERAMPIL BERPIKIR", (Griya Gagasan & Milenia Populer, 2001) karya: Bambang Utomo - seorang pemandu kursus “Berpikir Kreatif” di Cianjur - Jawa Barat. Bagi yang berminat, silakan menghubungi Perpustakaan Griya Gagasan: ideas@cianjur.wasantara.net.id.

Aktifitas Saat Ini